Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering merasakan bahwa lebih mudah akrab dan nyaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang, pengalaman, atau perjuangan hidup yang sejalan. Kecenderungan ini bukanlah hal yang keliru, melainkan bagian dari sifat manusia yang alami: merasa tenang saat berada di tengah mereka yang memahami, tanpa harus banyak menjelaskan.
Saat Pengalaman yang Sama Menyatukan
Ada kenyamanan tersendiri saat kita berbincang dengan seseorang yang pernah mengalami hal yang serupa dengan kita. Mereka yang tumbuh dalam lingkungan yang sederhana, misalnya, akan lebih mudah terhubung dengan sesama yang pernah merasakan tantangan serupa: tentang bagaimana menghargai rejeki sekecil apa pun, bagaimana bertahan di tengah keterbatasan, hingga bagaimana tetap tersenyum di tengah kesulitan.
Dalam psikologi sosial, ini dikenal dengan istilah homophily — kecenderungan untuk membentuk hubungan dengan mereka yang punya kesamaan. Bukan untuk menutup diri dari yang berbeda, tetapi karena adanya kedekatan rasa dan makna.
Realita Sosial: Ada Lapisan-Lapisan yang Terbentuk
Dalam masyarakat, kita tak bisa menutup mata bahwa ada berbagai lapisan sosial yang terbentuk secara alami. Ada perbedaan dalam latar belakang ekonomi, pendidikan, budaya, hingga cara pandang hidup. Bukan berarti satu lebih tinggi dari yang lain, tapi memang berbeda dalam cara menyikapi hidup dan membangun kebersamaan.
Masing-masing lingkungan sosial memiliki warna, budaya, dan pola keakraban yang khas. Perbedaan ini wajar, dan justru memperkaya kehidupan. Namun memang, tak semua perbedaan bisa dengan mudah dipertemukan dalam pergaulan yang erat.
Perbedaan yang Tidak Selalu Mudah Dijembatani
Ketika dua dunia bertemu — misalnya antara mereka yang dibesarkan dalam kelimpahan dan mereka yang tumbuh dalam perjuangan — sering kali dibutuhkan upaya lebih untuk saling memahami. Kadang, bukan karena tak ingin dekat, tetapi karena cara pandang dan gaya hidup yang berbeda membuat komunikasi menjadi kaku, bahkan canggung.
Bisa jadi satu pihak terbiasa bicara lugas, sedangkan yang lain terbiasa berbicara simbolik dan diplomatis. Bisa jadi satu pihak menyukai suasana ramai dan spontan, sementara pihak lain lebih tenang dan terstruktur. Perbedaan semacam ini, meskipun tak salah, bisa membuat jarak terasa.
Mungkinkah Kita Menyeberangi Perbedaan Itu?
Tentu saja bisa. Banyak kisah yang memperlihatkan bahwa orang-orang dari latar belakang berbeda dapat menjalin hubungan yang dalam dan hangat. Namun, dibutuhkan kesediaan hati untuk belajar, mendengar, dan menyesuaikan diri.
Empati adalah kuncinya — bukan sekadar merasa iba, tapi benar-benar berusaha hadir dalam rasa dan pengalaman orang lain. Saat itulah perbedaan bisa menjadi jembatan, bukan jurang pemisah.
Bijak Menyikapi Perbedaan
Menjadi bagian dari masyarakat berarti bersiap hidup dalam keberagaman. Kita boleh saja lebih nyaman bersama mereka yang sejalan dan sejiwa, tapi bukan berarti menutup diri dari yang berbeda.
Sikap yang indah adalah ketika kita bisa:
- Menghargai perbedaan tanpa merasa lebih atau kurang
- Menjalin silaturahmi tanpa pamrih status sosial
- Menghindari sikap menghakimi hanya karena tak mengerti cara hidup orang lain
- Menjadi diri sendiri tanpa merendahkan cara hidup orang lain
Karena sejatinya, setiap orang memiliki cerita hidup yang berharga — dan setiap orang berhak untuk dihargai sebagai manusia.
Penutup: Membangun Jembatan, Bukan Sekat
Perbedaan dalam masyarakat adalah keniscayaan. Dan bukan hal yang keliru bila kita merasa lebih nyaman bergaul dengan yang memiliki latar belakang serupa. Namun akan jauh lebih indah jika kita mampu membuka ruang untuk memahami mereka yang berbeda, tanpa prasangka, tanpa jarak.
Dalam keberagaman, kita belajar tentang kerendahan hati. Bahwa tidak semua yang berbeda harus diseragamkan, dan tidak semua yang asing harus dijauhi. Karena hidup bukan hanya tentang memilih lingkungan yang cocok, tetapi juga tentang tumbuh menjadi pribadi yang sanggup menjalin kebaikan di mana pun kita berada.
Dengan hati yang lapang, kita akan mampu melihat bahwa di balik setiap perbedaan, selalu ada titik temu: yakni kemanusiaan.
By: Andik Irawan